blog islami yang berisi bacaan doa sehari-hari, seperti doa selamat dan tolak bala, doa setelah sholat fardhu, doa sholat tahajud, doa sholat duha, doa qunut witir di bulan ramadhan, doa qunut subuh, dll. Selain itu terdapat juga bacaan dzikir dan doa di bulan ramadhan, niat puasa ramadhan, niat puasa sunnah rajab, sya'ban, dzulhijjah, syawwal, dll. Materi khutbah jumat, khutbah idul fitri, khutbah Idul Adha, khutbah bahasa sunda, pembukaan khutbah, pembukaan pidato, sejarah tokoh dan kyai

Mutiara Ilmu yang Tersembunyi di Pantai Utara

KH. Ahmad Tabroni

Mutiara Ilmu yang Tersembunyi di Pantai Utara

Kyai Ahmad thobroni, mama sempur, Kyai Karawang


Sebagai orang yang pernah hidup di jamannya ketika mengingat nama KH. Ahmad Tabroni, hati saya bergetar karena banyaknya peristiwa yang saya kenang peristiwa yang menjadi suri tauladan, menakjubkan, seputar  kharisma dan kesolehannya menorehkan sejarah tetesan tinta megan untuk dikenang sepanjang masa.   
Tulisan ini berdasarkan keta`dziman penulis terhadap beliau. Semoga beliau meridhoinya. Karena tidak ada niatan lain kecuali untuk menceritakan kisah-kisah yang baik yang mengandung pelajaran supaya kami semua bisa mencontohnya,
Penulis tidak tahu persis kapan  KH. Ahmad Tabroni bin H. Romli  di lahirkan. Namun yang jelas beliau wafat sekitar tahun 1996. Beliau seorang ajengan sufi yang memiliki pesantren dan mengajar santri di Sekitar Pantai Utara, tepatnya di Desa Rangdumulya, Kecamatan Pedes, Kabupaten Karawang.  Semasa hidupnya KH. Ahmad Tabroni pernah nyantri di KH. Tubagus Ahmad Bakri atau yang lebih dikenal dengan Mama Sempur, seangkatan dengan KH Ahmad  Dimyati atau Abuya Dimyati Banten.  KH. Ahmad juga pernah mengenyam pendidikan di KH, Ahmad Busyaeri Rawamerta dan mengaji di sejumlah pesantren.
KH. Ahmad Tabroni sangat bersahabat dengan Abuya Dimyati, keduanya tidak hanya sebagai sahabat, namun satu sama lain saling memuji soal khasanah keilmuannya. Bahkan, antara Abuya Dimyati dan KH. Ahmad Tabroni sering kali bertamu dan meminum segelas air secara  bersamaan  keduanya berharap barokah.
Tindakan ini dilakukan, konon saat KH. Ahmad Bakri atau Mama Sempur meninggal, Abuya memimpikan jika keranda Mama Sempur itu diusung menuju pesantren KH. Ahmad Tabroni. Bahkan,  menurut cerita sepuh di sana, keilmuan dan kesufian Mama Sempur berasimilasi (menyatu) terhadap KH. Ahmad Tabroni sedangkan keilmuan Sufi dan kanuragannya berasimilasi terhadp Abuya. Atas mimpi itu keduanya sama-sama mentadzimkan.
Tidak banyak memang yang mengenal sosok, pemikiran dan perjuangan KH. Ahmad Tabroni. Karena beliau lebih banyak “sembunyi” atau tinggal di pesatrennya dan hampir tidak pernah pepergian ke luar kota. Ia sesekali pepergian menuju  Citeko, Plered Kabupaten Purwakarta jika menghadiri acara haul gurunya yaitu Mama Sempur.
Wajahnya putih bercahaya, ia sering memakai jubah putih dan bersarung corak dengan berbaju koko putih dan peci haji putih yang dibalut surban (bendo)  suaranya pelan, namun anehnya kata demi kata yang meluncur dari bibirnya selalu bisa didengar dengan jelas. KH. Ahmad Tabroni seorang kyai yang berjalan menunduk tidak pernah mensejajarkan kepalanya saat berjalan, gaya berjalnnya cepat dan tidak pernah menoleh ke kanan dan kiri. Beliau yang matanya terjaga memandang lain jenis. Saat mengisi pengajian ibu-ibu, ia mengajar dengan dikelilingi hijab berwarna hitam. Ia juga termasuk ajengan yang anti mengenakan speker, tetapi tidak pula mengharamkannya bagi pengguna speker.
Kendati tidak pernah kemana-mana, semasa hidupnya beliau banyak dikunjungi dan punya hubungan kedekatan dengan para habaaib, baik dari Bogor, Sukabumi, Purwakarta dan Jakarta. Bahkan, sejumlah tamu dari luar daerah banyak yang bersilaturrahmi terhadapnya. Ia tidak memilih-milih tamu yang datang ia membuka diri kepada siapa pun dan selalu respons menerima tamu yang bersilaturrahmi kendati terkadang keinginan tamu itu ada yang menyimpang menurut pandangannya.
Semasa hidup hampir semua kegiatannya dihabiskan untuk beribadah. Hal itu terlihat dari tulisan-tulisan wiridan dana amalan ibadah kesehariaan yang ia tulis dalam sebuah buku. Saat beliau meninggal, dalam lembaran kitab kuning yang biasa diajarkan ke santri ada sebuah tulisan yang mengkisahkan lengkap dengan tanggal, hari bulan dan tahunnya, ia menceritakan pernah sepuluh kali bermimpi bertemu dengan Rasulullah SAW. Dia juga pernah bermimpi berkumpul dengan para wali dan di hadapan para wali itu nama beliau diperkenalkan oleh  Waliyullah Syeh Abdl Qodir Jaelani seraya janggut beliau sempat diusap oleh pemimpin para wali itu. Saat terbangun dari tidur janggut KH. Ahmad Tabroni yang hitam lebat tiba-tiba berubah warnanya menjadi putih. Setelah kejadiaan itulah, maka rambut dan bulu alis KH. Ahmad Tabroni itu berwarna hitam, tetapi hanya janggutnya saja yang berwarna putih. Tulisan itu baru terbuka oleh putranya  setelah KH. Ahmad Tabroni wafat.

Beliau seorang sufi  dan menolak duniawi, pernah suatu  hari  segerombolan burung walet masuk dan bersarang di dalam majlisnya, lalu beliau mengusirnya. Ketika beliau meninggal di dalam kamarnya menumpuk amplop yang masih utuh belum dibuka. Amplop yang diduga pemberian tamu itu hanya diletakan saja dan hampir memenuhi lemari. Beliau termasuk ulama yang tidak pernah mau disentuh bantuan dari pemerintah untuk membangun pesantrennya. KH. Ahmad Tabroni termasuk kyai menerima kehadiran penguasa yang datang ke pondok dengan biasa-biasa saja. Atau terkadang tidak ia temui.
Kendati sikapnya demikian ia tidak anti pemerintah, ia mengamalkan ajaran gurunya ( Mama Sempur)  yang bunyinya wajib taat terhadap pemerintah yang lalim sekalipun, selagi tidak memerintahkan durhaka kepada Allah SWT. Saat pemilihan partai politik atau pemilu beliau pun mengikutinya dengan masuk ke bilik suara, tapi kartu suara yang saat itu hanya tiga partai itu ditutup kembali satu pun tidak ada yang dicoblos. Beliau hanya mencoblos satu kali saat pemilihan kepala desa, alasannya beliau mengenal sosok yang dipilihnya secara baik dan berakhlak baik.
Pernah suatu ketika di desanya, kabel PLN yang melintas tepat ke salah satu bangunan pesantren mengeluarkan percikan api dan mengeluarkan suara yang menggelegar. Percikan itu juga terjadi ke hampir seluruh standar kabel di sejumlah rumah. Saat itu masyarakat  secara bersama-sama lari berhamburan menuju areal pesawahaan, menghindari peristiwa tersebut.
Hanya KH. Ahmad yang tidak berada di pesawahan.  Saat akan dijemput, salah seorang warga,  beliau tidak mau mengungsi sebaliknya malah menggelar sajadah untuk sholat sunat. Karena khawatir terjadi sesuatu salah seorang menungguinya. Setelah solat selesai beliau berdiri di bawah lintasan kabel dan kabel yang mengeluarkan percikan api itu terputus, anehnya tidak menimpanya melainkan kabel itu terjatuh dalam posisi menggeser dan percikan api itu mati.
Masih banyak kisah-kisah karomah  KH. Ahmad Tabroni yang terlalu panjang untuk di tulis termasuk pertemuannya denga Salah seorang habib sahabatnya dari Sukabumi di Mekah yang sepulang dari mekah habib tersebut kaget ternyata KH. Haji Ahmad tidak ke mana-mana.

SEPERTI TAHU BELIAU AKAN WAFAT

Setiap bulan suci Ramadhan program mengaji sampai khatam (kilatan) salah satunya mengkaji kitab dala’il sampai kupas tutas. Pada bulan-bulan lainnya tidak ada pengajian yang membahas kitab dalail. Salah seorang tamu bernama Arif Rahman Hakim, putra salah seorang kyai dari Kampung Tuwel, Kecamatan Selawi Kab. Tegal meminta mengaji Dala’il. Biasanya belaiu menyarankan untuk mengikuti saja di bulan Ramadhan. Namun, beliau malah mengajarkannya hingga khatam. Ternyata KH. Ahmad Tabrani tidak menemukan lagi bulan Ramdhan karena beliau keburu wafat.
Pada akhir hidupnya, beliau harus di Rawat di Rumah Sakit Dewi Sri Karawang, kerana menderita sakit radang tenggorokan. Saat sakit  ibadah kesehariannya tidak ditinggalkan. Bahkan ia mempertahankan tetap langgeng wudhu. Suatu ketika ia meminta yang menungguinya di rumah sakit untuk tidak gaduh dan dimita para penunggunya itu tidur, tida lagi terjaga semalaman. Alasannya, beliau ingin ber istirahat. Sepertinya isyarat itu tertangkap karena pada saat itu ia harus beristirahat panjang selama-lamanya menemui sang Khalik. (**)  

Penulis: Tahyudin A.M., S.Pd

Tidak ada komentar:

Posting Komentar